Merajut Masa Depan yang Berkelanjutan di Wonosari dengan Warisan Seni yang Tak Lekang oleh Waktu

16 Agustus 2024

Merajut Masa Depan yang Berkelanjutan di Wonosari dengan Warisan Seni yang Tak Lekang oleh Waktu

Desa Wonosari merupakan salah satu desa yang terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tidak hanya dikenal dengan keindahan alam dan kuliner khasnya, Desa Wonosari juga menyimpan kekayaan budaya yang begitu melimpah baik berupa kerajinan tangan maupun kesenian tradisional. Berbagai bentuk kesenian tradisional masih hidup dan dilestarikan oleh masyarakat setempat. 

Melalui wawancara yang dilakukan oleh mahasiswa kelompok 272 dan 273 KKN 114 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan beberapa pelaku seni di desa ini, terungkap potret menarik tentang upaya pelestarian budaya yang telah dilakukan. Desa ini memiliki peluang besar untuk menjadi bagian dari destinasi halal tourism, sebuah konsep pariwisata yang menjamin kenyamanan dan kepatuhan terhadap syariat Islam bagi para wisatawan Muslim. 

Salah satu cara untuk mewujudkan hal ini adalah dengan memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ada di desa tersebut. UMKM di Desa Wonosari memiliki peran penting dalam menciptakan pengalaman pariwisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip halal sekaligus mendorong perekonomian lokal.

Dalam kesempatan kali ini kami akan mengajak anda untuk mengenal lebih dekat seputar kesenian dan kebudayaan yang ada di Dusun Wonosari hingga Dusun Kampung Baru, Desa Wonosari.


Tari Topeng: Ritme Sejarah yang Tak Lekang oleh Waktu

Tari topeng merupakan salah satu warisan budaya yang paling menonjol di Dusun Pijiombo. Sanggar Madio Utomo menjadi wadah bagi para penari untuk melestarikan tarian yang sarat makna ini. Dengan berbagai jenis tarian seperti patih, gunungsari, dan sabrang, setiap gerakan dan ekspresi wajah para penari menceritakan kisah-kisah yang penuh filosofi.

Di Pijiombo, terdapat dua topeng legendaris yang dianggap keramat, yaitu Topeng Klono dan Patih. Kedua topeng ini disimpan oleh maestro seni setempat, Pak Mukayyin, dan hanya digunakan dalam kondisi khusus sesuai dengan arahan sesepuh desa. Warisan ini menunjukkan betapa mendalamnya keterikatan masyarakat dengan Tari Topeng, bukan hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan tradisi.

Sanggar Madio Utomo berdiri sebagai benteng pelestarian Tari Topeng di Pijiombo. Dengan jumlah anggota sekitar 15 orang yang terdiri dari berbagai usia, sanggar ini membuka pintu bagi siapa saja yang memiliki niat untuk belajar. Tidak ada kriteria khusus untuk menjadi anggota, asalkan ada kemauan untuk melestarikan budaya. Pelatihan di sanggar ini dilakukan secara rutin, dengan bimbingan dari pelatih yang berpengalaman, Pak Yatman.

Setiap tahun, Tari Topeng wajib ditampilkan dalam acara adat seperti bersih dusun atau dalam upacara kali topeng (punden desa). Selain itu, sanggar juga menerima panggilan untuk tampil di luar dusun, dengan biaya yang disesuaikan berdasarkan jarak dan lokasi pementasan. Pementasan ini menjadi momen penting untuk menunjukkan eksistensi Tari Topeng dan sekaligus mengingatkan generasi muda akan pentingnya menjaga budaya leluhur.

Salah satu penari dari Sanggar Madio Utomo, Ali, menekankan pentingnya generasi muda untuk melestarikan budaya Jawa, termasuk tari topeng. Ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap semakin berkurangnya minat generasi muda dalam melestarikan budaya sendiri, yang sering kali lebih tertarik pada budaya luar. Pesan ini menjadi refleksi penting bagi kita semua bahwa melestarikan budaya adalah tanggung jawab bersama, yang harus dijaga agar tidak punah.

Melalui Tari Topeng, masyarakat Pijiombo tidak hanya menjaga sebuah seni, tetapi juga merawat identitas dan jati diri mereka sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia yang kaya. Sanggar Madio Utomo menjadi salah satu contoh nyata bagaimana seni tradisional dapat terus hidup dan berkembang, meski di tengah arus modernisasi yang semakin kuat.


Ludruk "Ra Lumrah": Inovasi dalam Melestarikan Budaya



Ludruk adalah drama tradisional khas Jawa Timur yang mengisahkan cerita-cerita rakyat atau legenda, dengan tokoh utama yang dikenal dengan nama Sogol. Ludruk "Ra Lumrah" memegang teguh nilai-nilai tradisional, namun tetap membuka ruang untuk kreativitas dan inovasi. Nama "Ra Lumrah" sendiri berarti "tidak biasa," mencerminkan pendekatan komunitas ini yang lebih kreatif dan fleksibel, komunitas yang berada di Dusun Wonosari ini berhasil menarik minat generasi muda untuk terlibat dalam pertunjukan ludruk. Meskipun tetap berpegang pada pakem ludruk tradisional, namun komunitas ini berani melakukan inovasi dalam hal penyajian cerita dan tarian.

Pak Suyono, sang sutradara sekaligus pendiri komunitas ini, menjelaskan bahwa Ludruk "Ra Lumrah" tidak terpaku pada aturan baku. Mereka memberikan variasi dalam setiap adegan, menyesuaikan dengan waktu yang tersedia dan selera penonton, tanpa menghilangkan esensi dari cerita yang dibawakan. Misalnya, beberapa adegan dipangkas untuk menghemat waktu, dan tarian-tarian yang ditampilkan diberi kreasi baru guna meningkatkan daya tarik pertunjukan.

Salah satu ciri khas ludruk "Ra Lumrah" adalah durasi pementasan yang lebih singkat dan pemilihan adegan yang lebih menarik. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan minat penonton masa kini. Selain itu, komunitas ini juga aktif mengikuti workshop dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas pertunjukan.

Komunitas Ludruk "Ra Lumrah" saat ini menjadi satu-satunya komunitas ludruk di Kecamatan Wonosari. Dengan jumlah anggota sebanyak 28 orang, komunitas ini melibatkan berbagai kalangan usia, mulai dari anak muda setingkat SMA hingga orang dewasa yang sudah berusia 70 tahun. Meskipun banyak yang berminat untuk bergabung, namun karena keterbatasan dalam pembagian peran, jumlah anggota dibatasi.

Ludruk "Ra Lumrah" biasanya tampil pada acara-acara lokal seperti bersih desa. Meskipun cakupan penampilannya masih terbatas, komunitas ini telah mendapatkan apresiasi berupa piagam dari Dewan Kesenian Kabupaten Malang atas kepedulian mereka terhadap kesenian Jawa. Selain itu, komunitas ini sedang dalam proses untuk mengurus nomor induk agar lebih resmi dan terorganisir.

Pak Suyono, yang memiliki latar belakang panjang di seni drama, mendirikan Ludruk "Ra Lumrah" untuk menjaga dan mengembangkan budaya lokal. Motivasi utama para anggota komunitas dalam berkesenian adalah kecintaan mereka terhadap seni dan keinginan untuk melestarikan budaya. Meskipun secara finansial tidak selalu menguntungkan (sering kali mereka harus mengeluarkan biaya sendiri untuk membayar jasa rias atau pemusik) semangat mereka untuk terus berkarya tetap menyala. Komunitas ini juga telah memperoleh wawasan baru dari workshop tentang ludruk khas Jawa Timur, yang membantu mereka menyempurnakan pertunjukan. Dengan harapan untuk terus berkembang dan menjangkau lebih banyak penonton, Ludruk "Ra Lumrah" menjadi bukti bahwa seni tradisional bisa tetap hidup dan relevan di era modern melalui adaptasi yang cerdas dan kreatif. 


Turonggo Laras Budoyo: Melestarikan Seni Tari Jaran Kepang dengan Inovasi

Berdiri sejak tahun 2004, Turonggo Laras Budoyo, sebuah kelompok seni tari yang berakar dari Sanggar Laras Budoyo, telah berhasil memukau masyarakat dengan penampilannya yang memukau. Dengan semangat melestarikan seni tari tradisional, khususnya jaran kepang, kelompok ini terus berinovasi dan mencetak prestasi gemilang.

Seiring waktu, alumni Sanggar Laras Budaya yang ingin terus melestarikan dan menyalurkan bakat, mereka mendirikan sebuah wadah baru yang masih berada di bawah naungan sanggar. Wadah ini dikenal dengan nama Turonggo Laras Budoyo, yang berfokus pada seni tradisi jaran kepang. Dengan anggota sekitar 40 orang pada awalnya, namun kini jumlahnya berkurang menjadi sekitar 30 orang karena beberapa anggota harus merantau atau memenuhi kebutuhan ekonomi.

Sanggar Laras Budaya telah menjadi wadah bagi anak-anak usia sekolah dasar untuk mengembangkan minat dan bakat mereka di bidang tari. Sementara anak-anak kelas 1 hingga 6 mengikuti ekstrakurikuler tari kreasi, mereka yang tertarik dengan tari tradisi akan dibina lebih lanjut di Turonggo Laras Budoyo.

Salah satu keunikan Turonggo Laras Budoyo adalah tarian gardana, sebuah karya cipta dari Mas Angga yang telah menjadi ciri khas kelompok ini. Tarian ini telah berhasil meraih juara tingkat kabupaten pada tahun 2018 dalam kategori penyaji tarian terbaik. Dengan iringan musik yang apik hasil garapan Pak Suroso dan Pak Pri, tarian gardana berhasil memikat penonton dengan gerakannya yang dinamis dan penuh makna.

Menariknya, tidak ada kriteria khusus untuk usia anggota Turonggo Laras Budoyo. Meski demikian, penerus seni tradisi ini umumnya adalah anak-anak lulusan SD dari Sanggar Laras Budoyo yang berminat untuk terus mengasah kemampuan mereka. Bahkan, saat ini sudah ada panjak kecil, sebutan untuk anggota muda yang berusia kelas 4 dan 5 SD, yang mulai aktif berlatih dan tampil dalam pertunjukan. Hal ini menunjukkan bahwa regenerasi seni tari tradisional di Turonggo Laras Budoyo berjalan dengan baik dan menjanjikan masa depan yang cerah bagi kelestarian budaya ini. 

Dengan semangat yang tinggi dan inovasi yang terus berkembang, Turonggo Laras Budoyo diharapkan dapat menjadi salah satu kelompok seni tari yang terus bersinar dan mengharumkan nama daerah.


Reog Suryo Bhirowo: Warisan Budaya yang Tetap Berkibar

Reog Suryo Bhirowo, sebuah kelompok kesenian yang berakar dari tradisi reog Ponorogo, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Didirikan pada tahun 1974 oleh almarhum Bapak Suryo, kelompok ini terus berkembang dan menjadi salah satu ikon kesenian di Dusun Sumbersari.

Terinspirasi dari pertunjukan Reog Ponorogo yang pernah digelar, Bapak Suryo memiliki visi untuk melestarikan kesenian tradisional ini. Dengan semangat yang tinggi, beliau mengumpulkan para pemuda dan bersama-sama membangun kelompok reog yang kemudian dikenal sebagai Suryo Bhirowo.

Seiring berjalannya waktu, Reog Suryo Bhirowo terus berinovasi dan mengembangkan pertunjukannya. Kreasi jaran kepang menjadi salah satu ciri khas yang membedakan kelompok ini dengan kelompok reog lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Reog Suryo Bhirowo tidak hanya sekadar melestarikan tradisi, tetapi juga berupaya untuk mengembangkannya sesuai dengan zaman.

Reog Suryo Bhirowo memiliki jadwal latihan rutin setiap hari Minggu sore. Meskipun tidak memiliki pelatih profesional, para anggota kelompok ini sangat antusias dan saling belajar satu sama lain. Semangat kebersamaan dan kekompakan menjadi kunci keberhasilan kelompok ini.

Selain tampil di acara-acara lokal, Reog Suryo Bhirowo juga sering diundang untuk tampil di berbagai event di luar daerah, bahkan hingga ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bali, dan Madiun. Meskipun tidak selalu tampil dengan formasi lengkap, semangat para anggota untuk memperkenalkan reog tidak pernah luntur.

Seperti halnya kelompok kesenian tradisional lainnya, Reog Suryo Bhirowo juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah mempertahankan minat generasi muda terhadap kesenian tradisional. Selain itu, keterbatasan sumber daya dan biaya juga menjadi kendala dalam pengembangan kelompok.

Namun demikian, para anggota Reog Suryo Bhirowo tetap optimis. Mereka berharap kedepannya reog dapat semakin dikenal dan dihargai oleh masyarakat luas. Selain itu, mereka juga ingin terus mengembangkan kreasi dan inovasi dalam pertunjukan reog, sehingga dapat menarik minat penonton dari berbagai kalangan.


Batik Dewa Ndaru: Warisan Budaya yang Diwujudkan dalam Kain

Batik Dewa Ndaru merupakan produk kerajinan tangan asli Dusun Kampung Baru yang semakin dikenal masyarakat luas. Di balik keindahan motif batik yang memukau, tersimpan kisah inspiratif dari seorang perempuan bernama Bu Suhernik. Awalnya, kecintaannya pada batik bermula dari sebuah pelatihan PKK di desanya, Wonosari. Dari sekian banyak peserta, Bu Suhernik adalah satu-satunya yang tekun mendalami seni batik hingga akhirnya memutuskan untuk menekuninya secara profesional. 

Nama "Dewa Ndaru" dipilih oleh Bu Suhernik bukan tanpa alasan. Pohon Dewa Ndaru yang tumbuh di sekitar pesarean di desanya menjadi inspirasi di balik nama tersebut. Pohon yang dianggap keramat ini menjadi simbol kekuatan dan keanggunan, nilai-nilai yang ingin diwujudkan dalam setiap karya batiknya.

Batik Dewa Ndaru menawarkan beragam jenis batik, mulai dari batik tulis, cap, hingga ecoprint. Tangan-tangan terampil Bu Suhernik menciptakan motif-motif yang unik dan penuh makna. Salah satu motif yang paling khas adalah motif garuda yang terinspirasi dari Candi Kidal di Malang. Motif ini telah menjadi ciri khas batik Dewa Ndaru dan banyak digunakan untuk seragam dinas.

Perjalanan Bu Suhernik dalam mengembangkan usaha batik tidak selalu mulus. Ia pernah mengalami kegagalan dalam proses pembuatan batik, kesulitan dalam pemasaran, hingga keterbatasan alat dan modal. Namun, dengan kegigihan dan semangat yang tinggi, Bu Suhernik berhasil mengatasi semua tantangan tersebut. Salah satu prestasi terbesarnya adalah berhasil memenuhi permintaan batik untuk seragam dinas ASN di Kabupaten Malang. Setiap tahunnya, ribuan kain batik dengan motif garuda diproduksi oleh para pengrajin batik di Kabupaten Malang, termasuk Bu Suhernik.

Melalui batik, Bu Suhernik tidak hanya melestarikan warisan budaya tetapi juga memberikan kontribusi bagi perekonomian masyarakat setempat. Dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam proses produksi ketika pesanan sedang melonjak, Bu Suhernik telah menciptakan lapangan pekerjaan baru dan memberdayakan perempuan.

Kisah Bu Suhernik dan batik Dewa Ndaru adalah bukti nyata bahwa dengan semangat yang kuat dan kreativitas yang tinggi, kita dapat menciptakan karya-karya yang bernilai dan menginspirasi. Melalui batik, kita dapat menjaga kelestarian budaya dan sekaligus memberdayakan masyarakat.


Dokumentasi Wawancara

Mahasiswa kelompok 272 dan 273 KKN 114 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Beberapa Pelaku Seni

Komentar

Belum ada data komentar yang dapat ditampilkan